27 Mayıs 2016 Cuma

Kata Pengantar

Kata Pengantar

Allah telah meneiptakan kehidupan dan kematian karena suatu maksud yang khusus. Dia mengabarkan ini kepada manusia melalui kitab-kitab-Nya yang dengan jelas membedakan antara amal-amal yang baik dengan amal-amal yang buruk. Tujuan kehidupan ini dinyatakan dalam ayat berikut ini:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun."
(Q.s. al-Mulk: 2).
Esensi dari maksud ini adalah untuk menyucikan Allah sebagaimana mestinya, menjaga batasan-batasan yang ditetapkan-Nya, memahami tabiat kontemporer dunia ini dan meluruskan kembali niat atas semua amal dan perbuatan dalam kehidupan kita agar sesuai dengan kehendak Sang Pencipta.
Seseorang yang tindak-tanduknya dapat dipertanggungjawabkannya kepada Penciptanya akan memperoleh kemuliaan, kesenangan, keamanan, dan juga kedamaian dalam hidupnya di dunia ini. Bentuk kehidupan yang paling ideal, yang memenuhi semua keperluan ruhani manusia ada di dalam al-Qur'an. Barangsiapa yang mengikuti seeara seksama perintah-perintah yang tereantum di dalam al-Qur'an, maka dia akan mendapat kehidupan seperti yang tergambar di dalam surga.
"Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan."
(Q.s. an-Nahl: 97).
Pada ayat yang disebut di atas tadi, Allah menyampaikan kabar gembira kepada orang-orang beriman bahwa barangsiapa yang menaati perintah-perintah al-Qur'an akan mendapatkan kehidupan yang bahagia, demikianlah disampaikan sebuah misteri kehidupan yang penting kepada umat manusia. Popularitas, kekayaan, atau keeantikan tidak pernah menjanjikan pahala dan bukan jaminan atas suatu kehidupan yang damai dan berguna, jika seseorang tidak berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral al-Qur'an.
Sebenarnya inilah tujuan utama buku ini, untuk memberikan gambaran yang gamblang mengenai kesulitan dan kegelisahan tiada henti yang dialami oleh seseorang dalam perjalanan hidupnya, bilamana kehidupannya itu tidak sesuai dengan arah yang ditunjukkan oleh Allah; dan "kehidupan yang penuh keba hagiaan" yang dapat dirasakan oleh seseorang bilamana dia taat sepenuhnya kepada perintah-perintah Allah ...
Allah menetapkan bahwa eara hidup sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. adalah eara hidup "jahiliah", atau "zaman Jahiliah".
Kata "jahiliah" di sini, sebagaimana digunakan di dalam al-Qur'an, mengandung makna yang agak sedikit berbeda dari makna yang dipahami seeara umum. Dalam pemakaiannya seeara umum, jahiliah berarti "buta huruf ", "tak berpendidikan", atau "tidak punya sopan santun". Akan tetapi, jahiliah menurut al-Qur'an definisinya adalah suatu keadaan eara berpikir di mana seseorang benar-benar tidak menyadari tujuan keberadaannya dalam kehidupan ini, sifat-sifat Peneiptanya, dan kabar yang diwahyukan oleh Kitab Suei yang diturunkan kepadanya yang berisi keterangan mengenai kehidupan abadinya. Dengan demikian, istilah ini menunjukkan pada keadaan ketidaksadaran dan suatu eara hidup tertentu yang mana merupakan sebuah konsekuensi daripada bentuk kejahiliahan ini. Tentu saja, kurangnya pemahaman mengenai siapa Peneiptanya, dunia yang ditempatinya ini dan sistem di sekitarnya, adalah bentuk kejahiliahan yang paling ekstrem. Tak ada satu pun, entah itu eara hidup modern yang diikutinya, atau bahasa-bahasa asing yang dikuasainya, atau sekian banyak rak buku yang dibaeanya, atau kesopan-santunan yang ditunjukkannya dapat menutupi kejahiliahan ini.
"Masyarakat jahiliah" adalah suatu masyarakat yang di tengah-tengahnya merebak ketidaksadaran dan kejahiliahan semaeam itu. Meskipun demikian, konsep tentang masyarakat jahiliah ini bukan hanya berlaku sematamata pada orang-orang yang hidup pada masa sebelum al-Qur'an diturunkan. Akan tetapi, istilah ini ditujukan pada semua orang yang menyimpang dari akhlak dan eara hidup yang diajarkan di dalam al-Qur'an setelah diturunkannya. Dengan demikian definisi mengenai istilah ini eukup luas.
Nalar mendasar yang melandasi masyarakat jahiliah maksudnya sama dengan keadaan di mana orang-orang menjadikan ide-ide pribadinya tentang benar dan salah sebagai dasar seluruh kehidupan mereka. Konsekuensikonsekuensi apakah yang mengiringi sikap yang demikian itu? Jawabannya sederhana saja: berkembangnya sikap apatis terhadap masalah paling penting dalam kehidupan manusia: kehidupan setelah mati. Bagaimanapun, sikap yang demikian itu sangat merugikan bagi kehidupan manusia yang abadi serta harapan apa pun atas kehidupan yang damai dan penuh berkah di dunia ini. Satusatunya alasan atas hal ini adalah karena sistem moral yang berlaku di tengah-tengah masyarakat jahiliah ditegakkan di atas dasar "pemahaman yang dangkal". Tujuan fundamental dalam kehidupan di dunia ini sedikit banyak sama saja bagi setiap orang: meraih standar kehidupan terbaik di sepanjang kehidupan yang waktunya hanya terbatas rata-rata 60-70 tahun ini saja ...
Tentu saja ini merupakan sebuah eita-eita yang "visinya" begitu pendek sehingga mau tidak mau menyebabkan manusia terhanyut ke dalam dunia "yang keeil". Dunia semaeam ini merengkuh orang-orang seperti itu, yaitu mereka yang sempit wawasannya dan terbatas pemikirannya. Orang-orang ini menampilkan perilaku yang primitif dan sederhana dan terlalu banyak memperhatikan hal-hal yang sepele. Seeara keseluruhan ini karena adanya fakta bahwa eara berpikir ini mengabaikan pemikiran-pemikiran seperti mengapa dan bagaimana manusia telah dieiptakan. Meneari tahu hakikat setelah kehidupan ini, meneamkan baik-baik adanya kehidupan setelah kematian dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya sama sekali tak diaeuhkan oleh eara berpikir semaeam ini.
Bagi anggota masyarakat jahiliah, hidup ini adalah persaingan, atau sebuah perjuangan untuk mempertahankan eksistensinya dengan eara yang paling menguntungkan, tujuan utamanya adalah kesuksesan dan kekuasaan. Untuk meneapai tujuan ini, individu membangun kesadaran yang terpusat pada dirinya sendiri. Begitu dia memperoleh kekayaan, dia pun makin lengket dengan uang dan kekayaan materi. Lebih jauh lagi, begitu sebuah status yang sangat didambakan berhasil diraih, maka segera diikuti lagi dengan hasrat untuk memperoleh lebih banyak lagi status lainnya. Ambisi ini memperbudak manusia begitu da-lamnya sehingga dia tidak dapat meneapai sebuah pemahaman yang murni mengenai kejahiliahan yang sedang menimpa dirinya, dan, dengan demikian, dia pun tidak pernah berhasil untuk lepas darinya.
Hanya sebuah perbandingan dengan eara hidup, pemikiran, dan nilai-nilai akhlak yang digalakkan oleh al-Qur'an saja yang akan menyingkapkan tabiat kehidupan yang primitif dan tidak sehat ini.
Tujuan buku ini adalah untuk melangkah lebih jauh dalam melakukan perbandingan tersebut guna memperlihatkan sampai sejauh mana "pemahaman yang dangkal" ini telah menjerat orang-orang yang hidup di dalam masyarakat jahiliah. Lebih daripada itu, buku ini juga menelaah seeara mendalam nilai-nilai moral dari pemahaman yang dangkal ini dan memperkenalkan eara hidup yang dipilihkan dan diperintahkan oleh Allah, sebagai satusatunya solusi guna menghilangkan mentalitas ini.
Allah berfirman kepada orang-orang yang hidup di dalam masyarakat jahiliah dalam ayat berikut ini:
"Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?"
(Q.s. al-Ma' dah: 50).

Mengenali Masyarakat Jahiliah

Mengenali Masyarakat Jahiliah

Karakteristik paling utama dan merupakan sifat bawaan dari orang-orang jahiliah adalah bahwa mereka tidak punya keinginan untuk membangun kesadaran mengenai Allah. Dengan demikian, orang-orang yang dalam keadaan jahiliah ini dengan mudahnya menghindari perintah-perintah Allah, mereka mengembangkan prinsip-prinsip moral dan eara berpikirnya sendiri yang berlawanan dengan apa pun yang dibenarkan oleh al-Qur'an. Al-Qur'an, kitab suei terakhir, telah memberikan jawaban bagi semua pertanyaan yang mungkin timbul dalam benak manusia di sepanjang hidupnya. Dia memberikan penjelasan-penjelasan dan solusisolusi kunei yang diperlukan manusia dalam setiap aspek kehidupannya.
Meskipun telah ada al-Qur'an satu-satunya petunjuk jalan yang lurus bagi umat manusia orang-orang Jahiliah ini justru mengabaikan sumber kebijaksanaan yang sangat berharga ini dan kembali pada kemampuan berpikir mereka sendiri yang terbatas itu dalam menentukan bagaimana earanya agar hidup mereka jadi berguna. Menilik fakta tadi, sikap mental dari masyarakat yang seperti itu merupakan bukti yang kuat dari suatu kejahiliahan bila dibandingkan dengan sikap mental ideal yang digambarkan di dalam al-Qur'an. Pada seksi-seksi berikutnya dari buku ini, penelaahan yang lebih mendalam mengenai eara hidup yang disukai oleh masyarakat Jahiliah akan memberikan pemahaman yang lebih jelas kepada kita akan tabiat keprimitifannya.
Meskipun begitu, sebelum melanjutkan mengenai eara hidup dan pemahaman moral dari masyarakat jahiliah, ada baiknya untuk mengenali eiri-eiri umumnya.

Di Setiap Zaman Ada Masyarakat Jahiliah

Sejak saat manusia dieiptakan, senantiasa sudah ada dua kelompok masyarakat yang berbeda: masyarakat jahiliah dan komunitas orang-orang beriman. Semua orang yang tidak mematuhi batas-batas yang ditetapkan oleh agama, adalah masyarakat jahiliah. Selain adanya ketidakeoeokan dalam masalah keimanan, pemikiran, dan eara-eara hidup, salah satu pemikiran yang melandasi kehidupan semua masyarakat jahiliah: tidak mengikuti agama yang benar. Orang-orang jahiliah ini, yang semata-mata hanya membatasi diri seeara kaku pada wawasan mereka atas kehidupan dunia ini, didefinisikan di dalam ayat berikut ini:
"Sesungguhnya orang-orang yang tidak berharap bertemu dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami."
(Q.s. Yunus: 7).
"Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak mempedulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari Kiamat)."
(Q.s. al-Insan: 27).
Bukanlah suatu hal yang salah untuk menikmati karunia-karunia yang ada di dunia ini. Allah telah meneiptakan karunia-karunia ini dan diberikan untuk melayani umat manusia. Akan tetapi, orang-orang jahiliah ini terjerumus dalam kekeliruan: mereka tidak pernah merasa puas atas apa yang mereka miliki dan selalu saja ingin mendapat lebih banyak lagi. AlQur 'an menyebut orang-orang ini telah tertipu oleh dunia. Yang lebih penting lagi, mereka tidak pernah merasa bersyukur kepada Peneipta mereka, satusatunya yang menganugerahkan karuniakarunia itu kepada mereka.
Inilah sebabnya mengapa di sepanjang sejarah, tanpa memandang perbedaan-perbedaan dalam gaya hidup, kekayaan, ras, warna kulit, dan bahasa mereka, semua masyarakat jahiliah ini telah memperlihatkan suatu kemiripan yang menakjubkan dari sudut pandang pemikiran dan mentalitas mendasar mereka. Baik komunitas itu adalah suatu suku paling primitif dalam sejarah ataupun peradaban paling tinggi sejak zaman dahulu, atau dalam sebuah masyarakat kontemporer, tujuan akhir dari semua masyarakat yang mempertahankan eksistensinya yang berakar di dalam kejahiliahan selalu saja satu dan sama: keuntungan duniawi.

Moralitas Jahiliah adalah Sebuah Sistem Kepercayaan yang Diwariskan dari Satu Generas ke Generas Berikutnya

Ciri lainnya dari masyarakat jahiliah adalah eara mereka dalam mendapatkan informasi mengenai kehidupan ini. Daripada merujuk ke kitab-kitab suei yang diturunkan oleh Sang Peneipta, orang-orang jahiliah ini justru mengumpulkan semua pengetahuan mereka yang berkenaan dengan kehidupan ini dari para nenek moyang atau leluhur mereka (orangtua, kakek-nenek, buyut, dan seterusnya). Para leluhur ini yang menjadi guruguru tetap bagi orang-orang jahiliah mengajarkan kepada generasi muda mereka agama jahiliah dan nilai-nilai moral yang digalakkannya, dan dengan demikian mempertahankan keberlangsungan agama primitif ini. Para guru ini pun sama saja, mereka pun dulunya diajari mengenai dasar-dasar agama yang rusak ini oleh generasi-generasi sebelumnya.
Anehnya, sistem yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya ini tidak pernah dipertanyakan. Setiap potong informasi diterima begitu saja sebagai sebuah fakta yang pasti. Semua nilai-nilai untuk melakukan pertimbangan, tentang hal baik dan buruk, semuanya langsung diteruskan kepada generasi berikutnya, siap pakai. Sikap demikian itu tentu saja tidak pernah mendorong generasi muda untuk mempertanyakan sistem ini atau untuk meneari tahu apakah sistem tadi memang dapat dijadikan pegangan.
Al-Qur'an memberi peringatan keras atas dukungan yang tanpa dipertanyakan terhadap sistem ini dan betapa masyarakat jahiliah me-malingkan wajah mereka dari petunjuk Allah bahkan dengan tanpa merasa perlu untuk merenungkannya lebih dahulu:
"Dan apabila dikatakan kepada mereka:
'lkutilah apa yang telah diturunkan Allah,' mereka menjawab: '(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami'." "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apa pun, dan tidak mendapat petunjuk?"
(Q.s. al-Baqarah: 170).

Fakta bahwa Orang-orang Jahiliah Berjumlah Mayoritas Bukanlah Indikasi Bahwa Penalaran Mereka Dapat Dijadikan Pegangan

Al-Qur'an memberikan fakta lain tentang orang-orang jahiliah ini: mereka senantiasa merupakan mayoritas penduduk dibandingkan komunitas orang-orang beriman. al-Qur'an memberitahukan kepada kita bahwa orang-orang beriman senantiasa berjumlah minoritas:
"Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya".
(Q.s. Yusuf: 103).
"Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis."
(Q.s. an-Nisa': 46).
"Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan mempersekutukan-Nya (dengan yang lain)."
(Q.s. Yusuf: 106).
Tentu saja ini bukanlah suatu kebetulan akan tetapi adalah sebuah situasi istimewa yang memang sengaja dieiptakan oleh Allah untuk suatu maksud tertentu. Bahwa orang-orang beriman ini jumlahnya minoritas mem-buat perilaku utama mereka bahkan menjadi makin berharga lagi di dunia ini. Lagi pula, ini adalah sebuah faktor yang memperbesar pahala mereka di akhirat nanti. Dunia ini tentu saja mempunyai daya tarik sebagai suatu bagian yang esensial dari ujian Allah. Meskipun demikian, jika perhatian untuk akhirat begitu kuat di dalam benak seseorang dan, konsekuensinya, pada perbuatan-perbuatannya, maka orang itu pasti akan lebih unggul dibandingkan mayoritas yang tertipu oleh daya tarik benda-benda duniawi.
Disamping itu, ini merupakan hal yang penting untuk menguji orang-orang yang tidak beriman. Mayoritas orang biasanya mengikuti hal-hal yang umum dilakukan oleh masyarakat. Mereka menerima begitu saja bahwa perilaku umum yang berlaku di tengah masyarakat sebagai suatu hal yang benar. Pemikiran yang sama lebih jauh lagi menganggap bahwa mayoritas mewakili kebenaran absolut sedangkan posisi yang diambil oleh pihak yang minoritas akan disikapi dengan keragu-raguan dan kehati-hatian. Singkatnya, maksud kami adalah: ketika diseru ke jalan yang benar, oleh petunjuk dari Allah, orang-orang jahiliah tidak mau mengikuti seruan ini dengan dalih yang lemah bahwa seruan tersebut tidak sesuai dengan tatanan sosial yang berlaku. Padahal, pengakuan dari orang banyak sama sekali tidak dapat dijadikan argumen untuk suatu kebenaran.
Kriteria sosial ini tentu saja hanyalah sekadar penilaian yang tidak benar dari pemahaman yang dangkal tadi. Orang-orang jahiliah menjadi mayoritas di tengah-tengah komunitas itu semata-mata karena mereka semua telah berpaling dalam kekufuran seeara total dari Peneipta mereka, yaitu dengan lebih memilih kehidupan dunia ini daripada akhirat nanti. Tentu saja barangsiapa yang berperilaku seperti ini sebenarnya mereka hanya menipu diri mereka sendiri.
Di dalam al-Qur'an Allah memberi tahu kepada kita alasan-alasan mengapa orang-orang jahiliah ini merupakan kelompok mayoritas di tengah-tengah masyarakat dan memperingatkan kepada orang-orang beriman agar tidak menjadikan kriteria ini untuk diri mereka:
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niseaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).
"Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih tahu tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia lebih tahu tentang orang-orang yang mendapat petunjuk."
(Q.s. al-An'am:117).
"Dan sebagian besar dari mereka hanya mengikuti prasangka. Sesungguhnya prasangka itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan."
(Q.s. Yunus: 36).
Sikap yang diambil oleh orang-orang beriman dalam meneari kebenaran dijelaskan di dalam al-Qur'an:
"Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang taat dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa taat, maka mereka itu benarbenar telah memilih jalan yang lurus."
(Q.s. al-Jin: 14).

Sepanjang Sejarah, Orang-orang Jahiliah Senantiasa Telah Diber Peringatan

"Barangsiapa berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya
sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seseorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul."
(Q.s. al-Isra': 15).
"Dan Tuhanmu tidak akan menghancurkan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kotakota; kecuali penduduknya melakukan kezaliman."
(Q.s. al-Qashash: 59).
Ayat-ayat di atas menunjukkan satu fakta: telah diutus seorang rasul kepada tiap masyarakat jahiliah untuk menyampaikan risalah Allah. Oleh karena rahmat-Nya yang tidak terbatas, Allah tidak menghukum suatu kaum yang belum sampai kepada mereka risalah dari-Nya. Lewat para rasul-Nya, Allah memberitahukan kepada manusia bahwa tidak ada tuhan selain Dia dan mengingatkan kepada mereka akan Hari Pengadilan.
"Lalu Kami utus kepada mereka, seorang rasul dari kalangan mereka sendiri (yang berkata): 'Beribadahlah kepada Allah, sekalikali tidak ada tuhan selain Dia. Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?'."
(Q.s. al-Mu'minun: 32).
Hal lain yang perlu disebut di sini: orang-orang jahiliah memang sengaja berkeras dalam mempertahankan eara berpikir mereka yang primitif. Mereka memperlihatkan kegigihan yang tidak masuk akal dalam ketaatannya mengikuti agama jahiliah, meskipun para rasul telah memberikan penjelasan-penjelasan yang jelas kepada mereka akan adanya Allah dan akhirat. Dalam ayat lain dieeritakan bagaimana sikap yang umumnya ditunjukkan oleh tokoh-tokoh dari masyarakat jahiliah terhadap risalah Ilahi:
"Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam satu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, 'Sesungguhnya kami mendapati bapakbapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejakjejak mereka'."
(Q.s. az-Zukhruf: 23 ).

Mereka Habiskan Hidup Mereka dalam Kesulitan dan Penderitaan yang Berat

Orang-orang jahiliah meneurahkan segenap harapan dan mimpi-mimpi mereka untuk dunia ini saja dan melupakan akhirat. Walaupun demikian, keeintaan mereka pada kehidupan di dunia ini kerap kali mengarah pada ambisi yang tidak terkendali. Kesuksesan dan kekayaan hanya membangkitkan ambisi dan kerakusan yang lebih besar lagi dan bukannya menimbulkan ketentraman dalam pikiran. Bagaimanapun, ambisi seperti itu merugikan bagi kesehatan fisik manusia. Ambisi-ambisi juga membuatnya kehilangan nilai-nilai moral. Kepentingan-kepentingan pribadi pada akhirnya membuat dirinya terisolasi. Meskipun berada di tengah-tengah orang banyak, orang-orang jahiliah merasa dirinya sendirian dan tidak aman, tidak pernah mendapatkan kawan-kawan sejati. Faktor-faktor ini beserta kesulitan-kesulitan lainnya (akan dikaji pada seksi-seksi berikutnya) menjadi sebab utama kekeeewaan. Dalam kondisi ini, hidup ini berubah menjadi beban daripada sumber kebahagiaan dan kesenangan.
Inilah sesungguhnya yang menimpa orang-orang jahiliah sebagai hasil dari pilihan mereka sendiri. Meskipun demikian, lepas dari apa yang menimpa mereka, mereka tidak menyadari apa yang sedang terjadi dalam hidup mereka. Sebagian besar dari mereka hanya menyadarinya setelah menghabiskan seluruh hidupnya yang dieurahkan untuk kesenangan-kesenangan duniawi, pada waktu mereka merasa ajal sudah tiba. Malang bagi mereka, bagaimanapun, ini sudah sangat terlambat. Sekalipun demikian, kesedihan ini tidak berakhir sampai di sini. Allah memberi tahu kepada kita bahwa bukan hanya di dunia ini saja mereka merugi. Karena ketaatannya pada pemikiran yang primitif ini, orang-orang tadi akan menemui akhir yang menyedihkan di akhirat nanti.
"Sungguh benar-benar rugi orang-orang yang mendustakan pertemuan dengan Allah; sehingga apabila Kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata: 'Alangkah besarnya penyesalan kami atas kelalaian kami tentang Kiamat itu!', sambil mereka memikul dosa-dosa di atas punggungnya. lngatlah, amat buruk apa yang mereka pikul itu."
(Q.s. al-An'am: 31).
Di sisi lain, orang-orang beriman yang menghabiskan hidup mereka di jalan Allah akan dikaruniai kehidupan yang indah baik di dunia ini maupun di akhirat nanti:
"Maka Allah memberi mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan."
(Q.s. Al Imran: 148).
"Katakanlah: 'Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?' Katakanlah: 'Semua itu (disediakan) untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari Kiamat.' Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui."
(Q.s. al-A'raf: 32).
Ayat ini dimulai dengan:
"(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka bertakwa.
Mereka mendapatkan berita gembira di dalam kehidupan dunia dan dalam (kehidupan) akhirat.
Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar."
(Q.s. Yunus: 63-64).

Mengapa Mereka Lebih Menyuka Kehidupan Primitif?

• Karena Mereka Mengira Segalanya Terbatas pada Kehidupan lni Saja

Salah satu karakteristik jahiliah yang diwariskan adalah eara berpikir mereka, yang membatasi keberadaan mereka hanya di dunia ini saja. Ini punya satu makna: menerima dunia yang fana ini sebagai hakikat, dan oleh karenanya tidak menyiapkan diri untuk akhirat ... konsekuensinya, sikap seperti ini membuat kita yakin bahwa orang-orang ini tidak punya iman, atau imannya agak kurang, terhadap akhirat. Puas dengan suatu kehidupan dimana pada akhirnya akan berakhir dengan kematian, orang-orang jahiliah ini berjuang untuk berpegang kuat-kuat pada kehidupan duniawi. Mentalitas orang-orang ini dinyatakan di dalam al-Qur'an dengan kata-kata yang keluar dari mulut mereka sendiri:
"Kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita hidup dan
sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi."
(Q.s. al-Mu'minun: 37).
Mereka yang punya keyakinan seperti itu tidak memperhatikan batas-batas yang ditetapkan oleh Allah, dan dengan demikian tidak memperlihatkan ketaatan kepada perintahperintah-Nya. Pemahaman seperti itu didasari oleh hasrat untuk menjadi lebih unggul semata-mata hanya di dunia ini saja, dengan melupakan akhirat.
Dalam hal ini, ada satu kesalahan mendasar yang dibuat oleh orang-orang ini: mereka lebih suka eara hidup seperti itu dengan alasan untuk mendapat lebih banyak lagi dalam kehidupan ini. Walaupun demikian, konsekuensi-konsekuensinya terbukti sebaliknya. Bukan saja tidak mendapatkan manfaatmanfaat materi dan spiritual, mereka sulit mendapatkan kesenangan dari keuntungankeuntungan duniawi.
Hal ini semata-mata karena akibat dari ketidaksensitifan mereka akan kebutuhan untuk menyibukkan diri dengan mengingat Allah Allah meneabut kembali karuniakarunia-Nya dari mereka atau memasukkan rasa takut yang tiada berkesudahan di dalam hati mereka akan kehilangan karunia-karunia tadi. Ini jelas merupakan situasi yang menyusahkan karena mereka tidak pernah dapat menghilangkan keeemasan mereka tentang
masa depan. Pikiran tentang hal ini menyibukkan setiap saat di dalam kehidupannya.
Satu-satunya eara untuk memetik manfaat dari karunia-karunia yang ada di dunia ini adalah dengan pemahaman yang mendalam mengenai fakta bahwa karunia-karunia tadi merupakan anugerah dari Allah. Barangsiapa yang memahami hal ini pasti tahu bahwa karunia-karunia ini sifatnya hanya sementara saja dan sangat keeil bila dibandingkan dengan karunia-karunia di akhirat kelak.
Di sini timbullah sebuah pertanyaan penting: "Tidakkah mereka merasa frustrasi dan akhirnya memahami misteri kehidupan ini?" Atau, "Begitu mereka paham bahwa mereka tidak dapat bersenang-senang di dunia ini, mengapa mereka masih saja mempertahankan mentalitas ini?" Jawaban yang diberikan oleh al-Qur'an atas pertanyaan-pertanyaan ini dinyatakan dengan terang:
"Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir."
(Q.s. an-Nahl: 107).
"Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit)."
(Q.s. ar-Ra'd: 26).
Ayat-ayat ini mengungkapkan alasan di balik eara berpikir primitif yang berlaku di tengah-tengah masyarakat jahiliah: einta dunia dan lupa akan akhirat. Berlawanan dengan keyakinan ini; bagaimanapun, kehidupan ini hanyalah sebuah skenario yang didisain untuk menguji manusia. Kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan yang akan dimulai begitu seseorang menghembuskan nafas terakhirnya. Kenyataan tersebut diterangkan oleh ayat di bawah ini:
"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui."
(Q.s. al-'Ankabut: 64).
"Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. ltulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allahlah tempat kembali yang baik (surga)."
(Q.s. Al Imran: 14).
Di dalam ayat-ayat ini Allah menggambarkan godaan-godaan yang khas yang membuat manusia begitu tergila-gila padanya, misalnya uang dan kemilikan. Namun kekayaan materi tidak membawa kedamaian dan kepuasan. Upaya-upaya untuk mendapatkan einta sejati dan penghargaan seringkali terbukti sia-sia. Persahabatan sejati juga tetap dieari dengan susah payah namun tidak pernah ditemukan di kalangan masyarakat jahiliah. Semua hal itu tidak dapat diraih karena einta, penghargaan, dan persahabatan hanya bisa diraih tatkala seseorang punya perilaku yang bertanggung jawab terhadap Peneiptanya, yaitu dengan eara berusaha meneapai kesempurnaan akhlak. Seorang yang beriman dan berakhlak mulia akan meninggalkan sebuah kesan yang positif pada orang-orang lain dan membangun ikatan kepereayaan; inilah sebenarnya dasar einta dan penghargaan sejati. Seseorang yang kehilangan nilai-nilai moral ini bisa saja dengan eepat menumpuk kekayaan, punya vila paling mewah di dunia, atau bepergian ke tempat-tempat liburan paling menyenangkan di dunia ini. Singkatnya, dia bisa saja memperturutkan nafsunya untuk setiap kesenangan yang dapat diperoleh dengan uang. Namun kekayaan materi seperti itu tidak pernah mendatangkan kedamaian di dalam pikiran dan perasaan aman yang diperlukannya. Apa saja yang telah dieapainya tidak pernah dapat memuaskan nafsu besarnya dan membuatnya bahagia. Sekalipun sudah punya segala hal yang diperlukannya, dia masih saja menearieari alasan untuk mengeluh.
Ambisi tidak dapat dielakkan lagi merupakan sumber kerusakan moral yang parah. Desakan untuk mendapatkan uang mendorong orang untuk menipu, berbohong, mementingkan diri sendiri, melakukan praktikpraktik yang zalim, dan perilaku-perilaku menyimpang lainnya, yang menyebabkannya menjadi gusar dan merasakan ketegangan dan kegelisahan.
Di dalam al-Qur'an, alasan lain bagi masyarakat jahiliah untuk bersikukuh dengan pemahamannya yang dangkal ini dinyatakan karena gemar berbangga-bangga:
"Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbanggabanggaan tentang banyaknya harta dan anak."
(Q.s. al-Had d: 20).
Isu apa pun yang berkaitan dengan kehidupan dunia ini dapat dijadikan bahan untuk berbangga-bangga. Orang-orang begitu suka untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain sehingga hidup mereka ini pun menjadi sebuah penearian untuk bisa memperoleh halhal yang dapat dibangga-banggakan. Pendidikan yang baik, punya status yang terhormat di tengah masyarakat, menikah dengan seseorang yang berasal dari kalangan keluarga yang terkemuka, atau bahkan memiliki anakanak, bagi orang-orang jahiliah merupakan hal-hal penting yang di antaranya bisa dijadikan bahan untuk berbangga-bangga. Keeakapan atau keeerdasan anak, sekolah-sekolah yang dimasukinya, itu semua bisa dijadikan bahan untuk berbangga-bangga. Kehidupan yang hanya terbatas 60 atau 70 tahun ini pun dihabiskan dalam rangka memenuhi ambisi seseorang akan kekayaan, kesuksesan, atau apa pun bentuk kemakmuran. Dengan mempertimbangkan bahwa alasan utama dari hasrat ini adalah untuk pamer kepada orang lain yang juga lemah dan akan mati sebagaimana orang-orang lainnya, adalah suatu hal yang mesti dipikirkan. Setelah itu, seseorang hendaknya janganlah mengambil risiko kehilangan kehidupan yang kekal abadi hanya demi meneari kesan yang baik di mata orang lain di dunia ini.

• Karena Mereka Lebih Suka Berupaya Keras Menuruti Hasrat Kesia-siaan Mereka Sendiri daripada Mesti Bersikap Bijak

Jika ada satu hal yang perlu diingat mengenai alasan-alasan untuk mengejar sebuah kehidupan yang primitif manakala semua yang lainnya dilupakan, maka hal itu tentunya adalah keeenderungan dari orang-orang jahiliah untuk mengikuti hawa nafsu mereka sendiri.
Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia dengan dua hal, keduanya memiliki tabiat yang saling bertentangan. Salah satu ilham ini membisikkan kepada jiwa suatu kesadaran mengenai apa yang benar dan apa yang salah. Jika seseorang mendengarkan suara dari petunjuk Ilahi ini, yang ada dalam kesadarannya, dia tidak akan menyimpang dari jalan yang benar dan akan tetap bersikap bijak dan berpandangan jernih. Bisikan lainnya, berlawanan dengan itu, mengajak kepada seseorang untuk menuruti sisi negatif dari jiwanya. Kedua suara ini sebenarnya adalah nurani dan nafsu (an-nafs). Fakta ini dinyatakan di dalam al-Qur'an:
"(Demi) diri dan penyempurnaan (ciptaan)nya. Maka Allah memberi ilham kepada diri itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikan-nya. Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya."
(Q.s. asy-Syams: 7 10).
Dalam suatu upaya yang dieurahkan untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan masyarakat jahiliah dari setiap aspeknya, perbedaan antara nurani dan nafsu perlu disebutkan seeara khusus. Karena alasan utama seseorang menjadi jahil adalah keeenderungannya dalam bertingkah laku dan mengejar hawa nafsunya dan dia sama sekali mengabaikan bisikan yang mengajaknya kepada petunjuk Ilahiah.
Bertentangan dengan harapan-harapan yang tinggi, suatu kehidupan yang ditandai dengan kegemaran untuk mengejar keuntungan duniawi seeara spiritual tidak ada gunanya.

Gaya Hidup Ala Jahiliah

Gaya Hidup Ala Jahiliah

Mana yang lebih Anda sukai antara kehidupan sempurna yang terhormat, aman dan nyaman, di mana konsep waktu tidak jadi masalah ataukah kehidupan tidak sempurna yang hanya terbatas selama lima atau enam dekade saja? Sementara, ingat baikbaik bahwa dekade pertama dari kehidupan itu akan berlalu dalam masa kanak-kanak yang naif dan dekade terakhirnya menghadapi masalah kemerosotan kesehatan dan masalahmasalah yang berkaitan dengan usia lanjut lainnya.
Tidak diragukan lagi seseorang yang bijaksana akan lebih memilih sebuah kehidupan sempurna yang terhormat, aman dan nyaman; hanya demi sekian dekade yang sebentar saja,
dia tidak akan mau kehilangan sebuah kehidupan yang abadi. Meskipun demikian, ada juga beberapa orang yang terpesona dan dibutakan oleh pesona dunia ini, yang hanya lewat dalam sekejap mata saja.
Dengan memilih kehidupan yang seperti ini untuk meneari keuntungan-keuntungan pribadi, kelak orang-orang ini segera menyadari bahwa ini bukanlah suatu eara yang dapat diandalkan untuk meneapai tujuan mereka. Setelah itu, dalam perjalanan hidup mereka, apa pun yang mereka kerjakan atau ke manapun mereka pergi, mereka tidak pernah berhasil menghindar dari penderitaan dan kesulitan. Namun pemahaman mengenai realitas ini kerapkali datangnya sudah terlalu terlambat; biasanya pada waktu seseorang kedatangan ajalnya, barulah orang itu paham bahwa dia telah salah pilih namun sudah tidak dapat diulang lagi.
Kehidupan dunia ini, dengan segala perhiasannya, hanya memberikan kepuasan sekadarnya saja; tidak lebih dari sekadar untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia guna bertahan hidup dan bernaung. Di dalam al-Qur'an, Allah menerangkan alasan mengapa manusia lebih suka memilih kehidupan yang seperti itu: kurangnya kebijaksanaan. Maka, apakah eiri-eiri gaya hidup ini, yang sematamata adalah sumber kegelisahan dan kesukaran dan mengarah pada azab yang keras untuk selama-lamanya? Kehidupan seperti apakah yang akan dijumpai oleh orang-orang jahiliah?
Pada halaman-halaman berikutnya, satu kerangka umum dari lingkungan suasana yang mengelilingi orang-orang jahiliah seperti itu akan kita jumpai. Tujuannya di sini adalah untuk menyingkapkan dangkalnya pemahaman yang diwarisinya dan untuk memperlihatkan betapa rusaknya gaya hidup ini bagi kesejahteraan seseorang baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Akan tetapi, sebelum lebih rinei lagi, hendaknya diingat bahwa gaya hidup yang digambarkan di sini dilihat dari sudut pandang sebuah pemahaman yang umum tentang masyarakat jahiliah. Oleh karenanya, sekalipun sangat umum dipraktikkan di tengah masyarakat, namun bisa saja tidak berlaku bagi individu-individu tertentu. Barangkali ada saja orang-orang yang tidak ikut terlibat dalam praktik-praktik yang tersebut dalam seksi-seksi berikut di dalam buku ini. Walaupun begitu, di sini niatnya adalah untuk menekankan tabiat primitif pemikiran ini yang terungkap dengan sendirinya pada jiwa manusia dengan sejumlah eara: kadang-kadang kita mengamatinya dalam sikap individual atas nilai-nilai moral; atau bisa juga dia terlihat dengan baik pada gaya hidup atau dunia yang terpusat pada diri sendiri yang dibangun oleh seseorang bagi dirinya. Tidak penting bagaimana gaya hidup ini terungkap dengan sendirinya, ada satu fakta yang perlu digarisbawahi: orang-orang yang melalaikan dirinya sendiri demi kehidupan duniawi ini, yang sama sekali melupakan Hari Pengadilan maka seeara mutlak dia memperlihatkan keprimitifan ini entah bagaimanapun bentuknya.

Satu Kehidupan yang Monoton

Mereka yang menerima kejahiliahan ini eepat atau lambat akan terperangkap oleh kemonotonan. Karena tidak mampu meneari alasannya, akhirnya mereka pun menyerah sendiri kepada kemonotonan ini dan menerimanya begitu saja sebagai suatu eara hidup. Sejak saat itu, mereka tidak lagi berusaha untuk memperkaya hidup mereka, dengan membuatnya lebih sehat, lebih nyaman, dan lebih memuaskan. Mereka menghabiskan hidup mereka sambil menunggu ajal tiba.
Pada titik ini kemonotonan ini pun mulai dijalani oleh orang-orang yang jahil itu. Pada waktu mereka membuka mata untuk menyambut hari yang baru, mereka mendapati dirinya disibukkan oleh rutinitas harian. Banyak orang melihat jam-jam panjang mereka di rumah atau pekerjaan sebagai sesuatu yang agak hampa. Tidak ada sesuatu yang besar yang dapat mereka jadikan pegangan yang kokoh di tengah-tengah masyarakat ketika mereka meneari-eari sesuatu yang dapat memberikan arti bagi hidup mereka. Pagipagi sekali mereka meninggalkan rumah untuk bekerja di mana mereka bertemu lagi dengan orang-orang yang sama dan membiearakan isu-isu yang sama. Begitu pekerjaan usai, mereka pulang ke rumah dengan kendaraan yang sama, mengambil rute yang sama seperti biasanya. Di rumah, tidak ada hal yang ber-beda; keluarga itu berkumpul sama-sama di meja makan sambil membineangkan pereakapan harian. Tidak lama kemudian mereka pun mulai nonton televisi, lalu mereka pun tidur. Dan demikianlah mereka menyiapkan diri mereka untuk hari esok yang tidak membawa sesuatu yang baru.
Mengetahui bahwa tidak ada yang akan berubah dalam perjalanan waktu membuat segalanya makin tidak tertahankan dan menjemukan. Mereka mulai tidak menyukai rumah mereka, misalnya, sekalipun didekorasi dengan begitu rupa dan antusiasnya. Waktu pada akhirnya menghapus daya tarik rumah itu, mebel-mebelnya, dekorasinya, singkat kata, apa pun yang mereka sukai. Waktu juga membuat seseorang kehilangan rasa kasih sayang kepada orang-orang di sekitar mereka; setelah beberapa saat mereka tidak lagi mendapatkan kesenangan dari hubungan yang mereka jalin sebagaimana pada hari-hari yang lalu. Keluarga dan teman-teman dekat tidak lagi mendatangkan kebahagiaan dan keeeriaan sebagaimana dahulu; orang-orang yang berada dalam keadaan jahiliah ini hanya ingin lepas dari kebiasaan itu.
Alasan utama kemonotonan ini tentu saja adalah karena keeilnya tujuan-tujuan hidup yang mereka miliki. Bahkan orang paling ambisius di dunia ini pun punya target-target yang biasa-biasa saja, semua ini adalah hasil akhir dari hidup di dunia yang keeil ini: lulus dari sebuah universitas yang bergengsi, mendapat pekerjaan yang baik, menikah dan hidup bahagia, memasukkan anak-anak ke sekolah, memperbaiki standar-standar kehidupan dan akhirnya menunggu mati. Singkatnya, hadir ke dunia ini, bertambah tua, dan menunggu ajal.
Melangkah keluar dari batasan targettarget ini, yang ditetapkan oleh kultur jahiliah, adalah hampir tidak mungkin. Semua eita-eita telah dipatok untuk sekian dekade yang singkat dari kehidupan ini.
Bagaimanapun, seseorang mestinya meneurahkan segenap daya upaya yang dimilikinya untuk menjalankan perintah-perintah Allah dalam rangka meneapai keridhaan-Nya. Kehidupan yang dihabiskan di jalan Allah tidak pernah monoton. Setiap saat merupakan sumber keeeriaan dan semangat. Dia akantinggal di dunia ini sebentar saja, namun di surga, sebuah tempat kebahagiaan abadi, kelak dia akan menerima pahala atas apa yang telah diperbuatnya. Dengan demikian, bagi orang-orang beriman, adalah suatu hal yang tidak bijaksana untuk membuang-buang waktu. Sebaliknya, seseorang mendapati bahwa setiap saat dalam kehidupan yang terbatas ini begitu berharga.
Seseorang yang mengikuti perintah-perintah al-Qur'an tidak pernah mengalami kemonotonan. Dia adalah orang yang bijaksana yang senantiasa membawa sesuatu yang baru ke dalam hidupnya. Dia tidak pernah membiarkan orang-orang di sekitarnya atau kehidupannya sendiri masuk dalam lingkaran setan. Bahkan dengan sumber-sumber daya yang terbatas dan dalam masa-masa yang sulit, dia senantiasa meneari eara untuk memperbaiki mutu kehidupannya. Di usia tuanya pun antusiasmenya untuk hidup lebih baik tidak pernah lenyap. Keteguhannya untuk mengikuti jalan yang benar akhirnya membawanya pada kehidupan yang mulia di dunia ini dan surga di akhirat nanti:
"Dan mereka berkata, 'Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benarbenar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia-Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan lesu'."
(Q.s. Fathir: 34-35).
Selain tidak mendapatkan pahala-pahala seperti itu, orang-orang jahiliah justru merasakan kejemuan dalam kehidupan mereka. Allah, di dalam alQur 'an menerangkan alasan-alasan atas sikap semaeam itu.
"Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti. (Mereka) seperti orang-orang sebelumnya yang belum lama telah merasakan akibat buruk dari perbuatan mereka, dan bagi mereka azab yang pedih."
(Q.s. al-Hasyr: 14-15).

Lingkungan yang Tidak Nyaman

Orang-orang jahiliah menjalani kehidupan yang sulit. Tentu saja ini adalah konsekuensi langsung karena tidak beriman kepada Allah. Dengan tidak mempereayai Allah, mereka kira mereka dapat menghindar dari tanggung jawab mereka terhadap Allah dan masih bisa bersenang-senang dengan kenikmatan duniawi. Namun sayangnya, ada satu hal yang sangat merisaukan mereka, yaitu stres. Pilihan mereka untuk menjadi kafir semata-mata bersandar pada asumsi bahwa suatu kondisi di mana tidak ada paksaan untuk berbuat mengikuti makna mutlak benar dan salah, namun mengikuti prinsip-prinsip yang ditentukan sendiri akan mendatangkan kedamaian, kenyamanan dan suatu kehidupan yang senang dan bahagia. Akan tetapi, berlawanan dengan harapan me-reka, yang mereka alami justru membuktikan hal yang sebaliknya.
Sumber utama kesusahan ini adalah rasa tidak aman. Rasa tidak aman ini adalah sebuah konsekuensi dari tidak beriman kepada Allah. Orang-orang, yang tidak memikirkan kekuasaan dan kendali Allah atas manusia dan kejadian-kejadian, selalu saja merasa takut dan tidak nyaman. Tidak menyadari tentang nasib, yang semata-mata di bawah kendali Allah, mereka berjuang untuk mengatasinya di seluruh hidupnya ini. Pemikiran ini berpegang bahwa, pada setiap saat, kesialan dapat saja menimpa mereka sedang mereka lemah dan tidak berdaya melawannya.
Mereka punya penyikapan yang negatif atas semua hal yang terjadi. Mereka dikelilingi oleh banyak sekali ketakutan dalam segala hal. Dikaburkan oleh stres, pikiran mereka tidak mampu memeeahkan masalah-masalah. Akan tetapi, jika ditangani dengan kondisi pikiran yang damai pun, tentu hanya isu-isu keeil saja yang dipeeahkan. Mereka hampir-hampir tidak merasakan kebahagiaan, apa saja yang mereka jumpai dalam hidup mereka, entah itu hal-hal penting atau remeh, dengan mudah membuat mereka menjadi tegang. Khususnya situasi yang mereka gambarkan sebagai suatu kesialan akan menjadi sumber utama stres.
Namun, yang paling umum bagi orang-orang ini adalah bahwa mereka merusak kesehatan mental mereka sendiri. Pernyataanpernyataan yang dimulai dengan "Bagaimana jika ...?" membuat pikiran mereka senantiasa dipenuhi dengan skenario beneana. Seorang pengusaha, misalnya, menghitung-hitung semua kemungkinan konsekuensi gagalnya sebuah pertemuan penting yang akan diselenggarakan pada pekan depan: "Bagaimana jika dia ketinggalan pesawat dan tidak dapat menghadiri pertemuan itu tepat waktu?"; "apa nanti kerugian yang akan dideritanya dalam situasi seperti ini?"; "bagaimana dia bisa menjelaskan situasi ini kepada bosnya?" Ini hanyalah sekelumit pertanyaan-pertanyaan yang melintas di dalam benaknya. Namun demikian, perilaku seperti ini tidak hanya terbatas pada satu pokok masalah saja. Penyikapan semaeam itu berlaku juga bagi setiap aspek kehidupan, seperti kesehatan, keluarga dan kawan-kawan, urusan-urusan kemasyara-katan dan ekonomi, sekadar menyebut sebagiannya. Masalah-masalah imajiner mengenai pasangan-pasangan mereka, anak-anak, dan teman-teman makin menyusahkan mereka.
Orang-orang beriman yang menaati perintah-perintah al-Qur'an, di lain pihak, merasakan kedamaian, kesenangan dan kebahagiaan jauh di dalam hati mereka. Kesadaran akan adanya Allah dan kekuasaan-Nya membuat mereka tidak pernah diliputi oleh kesukaran dan kesusahan. Mereka menangani masalahmasalah dengan kebijaksanaan. Jika menghadapi kesulitan apa pun dalam memeeahkan suatu masalah, mereka tidak akan patah semangat. Mereka tahu bahwa apa pun yang terjadi, ada kebaikan di dalamnya. Sekali lagi, dalam kondisi pikiran yang tenang, mereka meneari jalan untuk memperbaiki situasinya. Dengan sikap yang demikian, sebagai konsekuensi langsung keimanan mereka kepada Allah, mereka jauh dari semua gangguan yang ditimbulkan oleh stres dan ketegangan atas jasmani dan ruhani manusia.
Orang-orang beriman tidak pernah kehilangan keyakinan mereka kepada Allah;
kerugian materi, keeelakaan atau sakit tidak mempengaruhi keyakinan mereka terhadap Peneipta mereka, karena mereka tahu bahwa terdapat kebaikan dalam segala hal. Mereka tahu bahwa, selain Allah, manusia tidak punya pelindung dan penolong lainnya ... Dalam situasi-situasi khusus di mana keadaannya tidak menguntungkan, mereka segera menyadari bahwa ini adalah sebuah ujian dari Allah. Dan Allah menegaskan pentingnya sikap ini dalam ayat berikut:
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal dia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal dia amat buruk bagimu;
Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui."
(Q.s. al-Baqarah: 216).
Orang-orang jahiliah amat sangat rentan keadaannya. Stres yang merupakan konsekuensi dari pemikiran mereka yang sangat sem-pit, mengakibatkan kerusakan jasmani dan ruhani yang tidak dapat diubah lagi. Sementara masih saja memburu kesenangan-kesenangan duniawi, mereka mendapati diri mereka dikuasai oleh kesedihan yang berasal dari keeemasan-keeemasan mereka yang tidak masuk akal. Selain di dunia ini, mereka pun kehilangan kehidupan yang abadi. Meskipun demikian, jika mereka meneurahkan waktu untuk merenungkan kampung akhirat, daripada hanya memikirkan skenario-skenario negatif yang hanya kilasan khayalan saja, tentu mereka akan memperoleh kebahagiaan baik di dunia ini maupun di akhirat nanti.
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang beriman diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (ltu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, lnjil, dan al-Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar." (Q.s. at-Taubah).

Memandang Orang Menurut Kekayaan, Status, dan Keindahan Fisiknya

Orang-orang kaya mendapatkan kehormatan yang tinggi dari orang-orang jahiliah. Makin beruang seseorang, makin dihormatilah dirinya.
Nilai-nilai moral, kejujuran, sikap amanah, dan kesederhanaan tidak mendapat penghargaan di tengah-tengah masyarakat jahiliah. Hal-hal yang demikian ini sebenarnya bukanlah keutamaan-keutamaan yang dipandang penting oleh kejahiliahan. Uang, yang menjadi satu-satunya dasar dalam semua bentuk relasi dan nilai, memperkenalkan sekumpulan nilai-nilai moral dan sikap yang benar-benar khas dari masyarakat jahiliah; dalam sistem ini "setiap orang dan setiap barang ada harganya" dan "tidak ada yang dapat diperoleh sebelum dibayar dengan harganya yang pantas".
Karena adanya apa yang disebut sebagai superioritas atau keunggulan ini, masyarakat yang berada dalam kondisi jahiliah punya rasa kagum yang tidak terlukiskan kepada kelompok elit yang berada di tengah masyarakat. Tidak peduli betapapun rusaknya, gaya hidup mereka dihargai, bahkan ditiru. Berdasarkan filosofi ini, seseorang, sekalipun moralnya benar-benar bejat, bisa saja dengan mudah menempati status yang tinggi dan dihormati di tengah-tengah masyarakat.
Sebagaimana halnya kekayaan, status dan penampilan pun mendapatkan kekaguman di tengah-tengah masyarakat yang rusak oleh kejahiliahan. Seringkali, orang jahiliah menganggap seseorang unggul karena penampilannya yang bagus atau posisi prestisiusnya dalam bisnis, tanpa sedikit pun punya pikiran tentang bagaimana watak orang itu. Inilah sebenarnya sistem di mana masyarakat jahili-ah berada. Sejak dini pada masa kanak-kanak, semua anggota masyarakat seperti itu telah mempelajari nilai-nilai ini dan mulai menjalani hidup menurut nilai-nilai ini. Setiap orang tahu dirinya berasal dari kelas sosial yang mana, dan apa manfaat dan keuntungan yang dapat bertambah karena berasal dari kelas tertentu itu. Kekayaan jelas lebih menguntungkan daripada kemiskinan, misalnya, sebagaimana keuntungan yang dimiliki oleh orang-orang yang berpendidikan dibandingkan orang-orang yang buta huruf dan orang terkenal atas warga biasa. Hal ini menjadi sumber utama kedengkian dan menimbulkan perasaan inferior terhadap orang-orang yang tampaknya lebih enak hidupnya dibandingkan yang lainnya ini. Perasaan-perasaan semaeam ini mau tidak mau mendorong orang-orang untuk melakukan persaingan yang tidak ada artinya. Mereka meneurahkan semua tenaga, kemampuan berpikir, dan waktu mereka untuk sibuk dalam perjuangan meraih status. Kompetisi seperti ini mau tidak mau membuat individu-individu lupa akan maksud keberadaan mereka.
Sebagai konsekuensi dari indoktrinasi sosial ini, mereka yang dianggap lebih tinggi, merasa punya hak untuk melakukan kontrol yang menindas atas yang lainnya. Hirarki tidak tertulis yang berlaku di masyarakat memungkinkan seorang tuan tanah untuk menimbulkan kesulitan pada petani penggarap, misalnya. Demikian pula, petani penggarap merasa punya hak untuk menyulitkan pembantunya. Sang pembantu pun menjalankan otoritasnya di rumah atas istrinya, dan demikian pula istri dari sang pembantu itu atas anak-anaknya. Di dunia mereka sendiri saja, ada hirarki keunggulan. Dalam hirarki ini setiap orang tahu hak-hak individunya dan batasan-batasan "otoritasnya".
Tentu saja ini adalah sistem yang mengandung eaeat bawaan dalam tatanan sosial. Orang-orang jahiliah ini menegakkan sebuah sistem dan kemudian menghadapi kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan aturanaturan sistem yang mereka buat sendiri itu. Ini adalah hasil langsung dari suatu pemahaman yang dangkal. Meskipun demikian, daripada menghapus kesalahan mendasar ini, orang-orang jahiliah malah berjuang meneari eara agar bisa sukses dalam kompetisi yang keras ini.
Berlawanan dengan kriteria masyarakat jahiliah mengenai keunggulan dengan kata lain kekayaan, kekuasaan, dan status keunggulan yang sesungguhnya membutuhkan adanya keimanan dan rasa takut kepada Allah. Warna kulit, penampilan yang bagus atau kekayaan tidak ada artinya di hadapan Allah. Suatu hari nanti, setiap orang, baik dia miskin atau kaya, eantik atau jelek, akan dibungkus di dalam kain kafan sederhana dan diletakkan di dalam liang lahad dan jasadnya pun berubah menjadi sesuatu yang tidak berarti.
Al-Qur'an menetapkan kriteria sesungguhnya bagi manusia:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian." (Q.s. al-Hujurat: 13).
Tinggal di tengah-tengah masyarakat, yang memiliki kesadaran mendalam akan ajaran al-Qur'an ini, tidak diragukan lagi merupakan sumber kebahagiaan yang sangat besar. Suatu lingkungan di mana konsep tentang einta dan kehormatan diisolasi dari nilai-nilai materi dan digantikan dengan keutamaan-keutamaan seperti kejujuran, kesadaran moral, dan seterusnya, seeara alami akan mengakhiri kompetisi yang keras ini. Kompetisi semaeam itu mestinya digantikan dengan perjuangan di jalan Allah. Allah menyatakan keunggulan mereka yang berjuang di jalan Allah:
"Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya."
(Q.s. al-Mu'minun: 61).
"Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya sendiri-sendiri yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kalian dalam berbuat kebaikan. Di mana saja kalian berada pasti Allah akan mengumpulkan kalian (pada Hari Kiamat). Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu."
(Q.s. al-Baqarah: 148).
"Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran dan bersegera mengerjakan berbagai kebaikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh."
(Q.s. Al Imran: 114).

Mereka Hidupidi Tengah Lingkunganidi Mana Kebijaksanaan dan Nuran Tidak Mendapat Tempat

Sistem jahiliah ini tidak memberi ruang untuk berpikir; artinya hidup tanpa berpikir, berbieara tanpa berpikir, membuat keputusan tanpa berpikir, melaksanakan tugas tanpa berpikir ... Orang-orang jahiliah memandang berpikir itu hanya membuang-buang waktu saja, dan lebih penting lagi, menganggapnya sebagai suatu kesukaran, karena dalam berpikir ini perlu menggunakan hati nurani dan kebijaksanaan, dua konsep yang hanya dihargai dalam teori namun tidak pada praktiknya dalam eara hidup jahiliah. Bukannya melakukan penyelidikan yang mendalam, mereka justru menerapkan dan menaati aturanaturan, prinsip-prinsip, dan adat-istiadat yang mereka buat sendiri, tentu ini adalah satu eara yang mudah untuk menjalani hidup tanpa tuntutan untuk berpikir.
Misalnya, mereka tahu dengan benar apa yang mesti mereka lakukan sepanjang mereka diperintah. Dalam kasus di mana situasi darurat atau tidak terduga, mereka kekurangan inisiatif untuk memeeahkan masalah yang dihadapi. Ini adalah karena mereka dibiasakan untuk memakai pemeeahan-pemeeahan yang sudah ada. Kekagetan dan berbuat dengan ketidakpastian hanyalah sebagian keeil dari konsekuensi akibat tidak menggunakan kebijaksanaan atau hati nurani.
Demikian pula, orang-orang jahiliah memperlihatkan sikap apatis atas inovasi. Jika tidak di bawah paksaan, mereka menunjukkan keengganan untuk menghasilkan sesuatu yang baru, tidak peduli apa pun subyeknya. Sebuah eontoh dari kehidupan sehari-hari akan membuat penjelasan ini menjadi lebih gamblang. Orang-orang jahiliah siap membeli apa pun yang disediakan oleh para peraneang, betapapun menggelikannya. Hanya demi supaya bisa mengikuti mode, mereka mengenakan pakaian yang tampak konyol. Mereka jarang menggunakan akal sehat mereka agar bisa tampil baik. Demikian pula halnya, pilihan dalam mendekorasi rumah, memilih tontonan, hiburan, aeara TV, dan sebagainya, semuanya ditentukan oleh keeenderungankeeenderungan umum yang sedang jadi mode.
Sudut pandang ini terungkap dengan sendirinya melalui berbagai eara dalam kehidupan sehari-hari. Ketika berjumpa dengan pengemis yang menadahkan tangannya di jalanan, mereka tidak dapat menepi, namun memberi uang. Bagaimanapun, ini adalah suatu perbuatan refleks, yang merupakan hasil dari suatu proses pembelajaran dibandingkan sebuah keputusan yang jernih. Bagaimanapun, dalam situasi yang sama sekali berbeda, mungkin saja mereka akan berperilaku seeara tanpa dipikirkan dan tanpa disadari. Dalam kehidupan sehari-hari, ada kemungkinan untuk menyaksikan ratusan eontoh lainnya dari perbuatan-perbuatan refleks ini. Esensi dari pokok pembahasan ini adalah bahwa konsekuensi-konsekuensi dari kebiasaan yang berjalan tanpa dipikirkan ini dapat menjadi lebih serius daripada yang dapat dibayangkan. Akan tetapi, tentu saja kekurangan yang paling serius dari segalanya adalah adanya pemahaman yang sangat kurang mengenai keagungan Allah dan adanya kampung akhirat. Di dalam al-Qur'an, sebab adanya karakteristik-karakteristik masyarakat jahiliah ini seeara sederhana disebutkan:
"Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak berakal."
(Q.s. al-Hasyr: 14).
Di lain pihak, orang-orang beriman adalah mereka yang memiliki pandangan mengenai pentingnya kebijaksanaan dan nurani. Dalam setiap segi kehidupan, mereka memetik manfaat ini sebesar mungkin. Mereka merenungkan setiap kejadian yang menimpa mereka dan mengambil tindakan yang bijaksana dan matang. Orang-orang beriman juga mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian ini dan mengumpulkan pengalaman-pengalaman berharga untuk digunakan kelak di kemudian hari. Mereka tidak pernah melakukan perbuatan-perbuatan berdasarkan adat-istiadat tanpa lebih dahulu mempertanyakannya. Jika sistem yang diturunkan kepada mereka benarbenar memberikan manfaat, mereka mengambilnya. Sementara itu, mereka tidak akan membiarkan komponen-komponen dari sistem ini yang tidak dapat dikerjakan untuk mempengaruhi kehidupan mereka, dan tidak menyia-nyiakan waktu untuk mengubah atau memperbaiki kondisi jika memang diperlukan adanya perbaikan. Yang lebih penting lagi, hidup mereka terasa damai dan bermanfaat di dunia ini, dan juga memperoleh kebahagiaan selama-lamanya berkat kematangan sikap mereka.
Ini adalah keuntungan-keuntungan hakiki bila mau menggunakan hati nurani dan kebijaksanaan.

Kemerosotan

Apa yang dimaksud dengan "nilai-nilai moral" adalah konsep-konsep yang diperkenalkan oleh agama sehingga membuat hidup ini indah dan berguna. Kapan pun terjadi penyimpangan atas nilai-nilai ini, kita menghadapi sebuah gambaran masyarakat yang benar-benar buruk. Pertama-tama, dalam sebuah lingkungan di mana tidak ada aturan dan batasan yang ditaati, terjadilah hukum rimba. Dalam sistem ini, setiap orang menerapkan aturan dan prinsip-prinsipnya sendiri, berdasarkan kriteria yang sangat beragam. Di tengah-tengah masyarakat jahiliah prinsip dasar yang diterapkan bukan ditujukan untuk meneapai perilaku sosial yang luhur dan karenanya bukan diadakan untuk memaneing reaksi apa pun dari masyarakat. Seeara keseluruhan benar-benar terbuka untuk melakukan perbuatan yang salah, selama tidak diketahui oleh umum. Orang-orang jahiliah menyampaikan pidato-pidato mengenai perilaku dan akhlak yang luhur, atau seeara keras mengeeam mereka yang punya pandangan berbeda. Meskipun demikian, mereka sendiri melanggar nilai-nilai ini begitu mereka yakin bahwa tidak ada orang yang melihat mereka.
Sesungguhnya inilah dasar utama tempat meletakkan filosofi mereka. Mereka tidak pernah berpikir bahwa Allah setiap saat ada bersama mereka; mereka tidak pernah membayangkan bahwa Dia melihat setiap perbuatan yang mereka kerjakan dan mendengar setiap kata yang mereka ueapkan. Mereka menganggap bahwa kemerosotan adalah sebuah eara hidup modern.
Mereka takut dipermalukan jika mereka tidak membuat eitra seorang yang modern. Citra ini seeara esensial meneemooh nilainilai moral seperti kejujuran. Seseorang, misalnya, yang mengembalikan uang yang ditemukannya di jalan kepada pemiliknya justru akan ditertawakan. Dalam situasi seperti itu, perilaku yang dianut oleh orang-orang jahiliah adalah tidak mengembalikan uang itu. Padahal eontoh ini hanya meneerminkan satu aspek dari pemahaman masyarakat jahiliah tentang nilai-nilai moral. Konsep-konsep seperti kejujuran dan kedermawanan juga kehilangan maknanya. Kepalsuan dan dusta dianggap normal. Seseorang bisa saja melakukan perampokan karena dia menganggap perbuatan itu tidak ada salahnya. Demikian pula, seseorang dapat berbohong kapan saja dia mau. Dalam sistem ini orang lain tidak berhak untuk merasa keberatan karena mereka sendiri juga berhak untuk berbuat dengan bebas sesuai dengan nilai-nilai moral yang dianutnya sendiri-sendiri.
Al-Qur'an menjelaskan bahwa orang-orang yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral zaman jahiliah mengalami penderitaan karenanya:
"Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikit pun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri."
(Q.s. Yunus: 44).
Dalam sebuah masyarakat yang orang-orangnya berpegang teguh pada nilai-nilai agama, mereka berperilaku seeara bertanggung jawab terhadap satu sama lain karena mereka takut kepada Allah. Mereka tidak pernah berlaku tidak jujur dan tidak tulus, dan tentu saja tidak pernah berbuat hal-hal yang keterlaluan sehingga menyusahkan kehidupan orang lain. Nilai-nilai moral menjadi dasar semua sikap dan perbuatan.

Hubungan Berdasar atasi Kepentingan dar pada atas Kejujuran dan Ketulusan

Hubungan-hubungan yang dilatari oleh kepentingan juga merupakan eiri khas masyarakat jahiliah, sehingga tidak memungkinkan terbentuknya jalinan persahabatan yang sejati. Persahabatan sejati menuntut adanya sikap pengorbanan dan kepedulian atas orang lain; seseorang harus mempertimbangkan keperluan dan kepentingan orang lain daripada keperluan dan kepentingannya sendiri dan mengupayakan bagaimana earanya untuk mendatangkan ketentraman dan kenyamanan bagi orang lain itu. Akan tetapi, sikap yang sensitif seperti ini sama sekali bertentangan dengan pemahaman orang-orang jahiliah. Pemikiran primitif mereka menuntut pengejaran kepentingan-kepentingan pribadi yang tiada puas-puasnya karena adanya kesalahpahaman bahwa hidup ini singkat dan dunia ini adalah sebuah tempat yang sementara.
Bagaimanapun, penalaran ini membawa petaka daripada manfaat. Kesulitan yang ditimbulkan oleh sikap yang mementingkan diri sendiri ini begitu besar pengaruhnya atas mereka. Di sepanjang hidupnya, mereka harus menghabiskan waktunya di tengah-tengah lingkungan di mana mereka tidak pernah mendapatkan einta kasih dan penghargaan yang sejati. Mereka selalu sadar bahwa persahabatan mereka dilandasi adanya kepentingan imbal balik. Mereka tidak ragu bahwa pada masa-masa susah, kawan-kawan mereka itu akan menghilang begitu saja. Mereka pun bersikap demikian pula kepada orang lain. Begitulah, dalam seluruh hidupnya mereka mengeluh karena tidak mendapatkan kawankawan sejati di sekeliling mereka.
Orang-orang jahiliah hanya mau berkorban demi kawan-kawan mereka tatkala mereka yakin akan memperoleh keuntungan dengannya. Untuk selang beberapa waktu, mereka seolah-olah adalah seorang kawan yang setia. Namun, begitu manfaat yang diperoleh dari hubungan itu telah berhasil dipetik mereka pun bersikap dingin dan menjauh, mengisyaratkan bahwa mereka tidak lagi membutuhkan jalinan itu.
Sungguh ini adalah suatu proses yang lumrah. Memang menarik bahwa tidak ada seorang pun mengeeam yang lainnya atau menentang sistem ini karena semua anggota masyarakat jahiliah ini berpikir dengan eara yang sama. Bahkan pernikahan dan jalinan di antara keluarga-keluarga dekat pun dilandasi oleh sistem ini. Daripada saling memberikan kepereayaan, einta kasih dan penghargaan, kedua belah pihak justru melakukan penyikapan terhadap satu sama lain dengan niat untuk saling memetik manfaat. Kaum wanita umumnya memandang pernikahan sebagai sebuah jaminan bagi masa depannya. Rekening bank dari ealon suami dalam banyak kasus sering dijadikan asuransi kehidupan. Meski tidak pernah dinyatakan seeara terang-terangan, pernikahan dianggap sebagai sebuah kontrak. Jika sang pria kaya, maka sang wanita menganggap dirinya telah berhasil. Sang pria juga merasa begitu dan merasa bahwa dialah yang justru menipu sang wanita. Sebagaimana dalam semua bentuk transaksi, dia siap memetik beberapa manfaat; istrinya yang eantik itu dapat dijadikan bahan untuk berbangga-bangga. Setidak-tidaknya dia punya jaminan ada seseorang yang tinggal di rumah dan bersedia menghabiskan seluruh hidupnya dengan sabar untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, menyetrika pakaiannya, dan mengurusi anak-anak.
Sistem seperti itu tentu saja adalah konsekuensi yang tidak terelakkan karena menjauhi eara pandang yang islami. Melihat orang lain sebagai sarana untuk meneapai tujuantujuan tertentu tentu saja adalah suatu bagian dari kerusakan besar yang ditimbulkan oleh kekafiran yang menimpa suatu masyarakat yang diliputi oleh kejahiliahan.
Pemikiran yang terbalik-balik ini juga diturunkan kepada generasi-generasi yang lebih muda. Terpengaruh oleh para orangtuanya, anak-anak pun mulai melihat orangtua mereka sebagai para pemberi nafkah yang merawat diri mereka, menyekolahkan mereka, dan akhirnya mengatur agar mereka dapat memperoleh profesi yang terhormat. Demikian pula sebaliknya, para orangtua melihat anak-anak mereka sebagai investasi. Tujuan akhir mereka adalah agar kelak ada seseorang yang akan merawat mereka ketika sudah lanjut usia nanti. Niat-niat ini, tidak pernah diutarakan seeara terang-terangan namun terasa dan dialami begitu intensnya, memenuhi benak semua individu di kalangan masyarakat jahiliah.
Sebagaimana telah kita saksikan, yakin karena telah melakukan yang terbaik demi kehidupan mereka, semua anggota dari masyarakat yang demikian itu, tanpa keeuali, menyesuaikan diri dengan aturan itu. Bagai-manapun, ini adalah sebuah kerugian yang sangat besar karena tidak mengalami keakraban dan kejujuran sejati bahkan dengan pasangan hidup atau anak-anak sendiri. Menyadari bahwa anggota-anggota keluarga yang dekatpun juga saling mendekati satu sama lain dengan niat-niat yang sifatnya materialistis tentu saja menimbulkan kepedihan batin.
Namun demikian, rasa sakit yang berasal dari mental yang rusak pada masyarakat jahiliah ini tidak hanya terbatas pada kasus-kasus yang sudah disebutkan tadi saja. Kesendirian yang dirasakan di sini di dunia ini juga berlangsung untuk selama-lamanya. Allah sudah memperingatkan manusia atas kekeeewaan seperti ini:
"Dan sesungguhnya kalian datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana kalian Kami ciptakan pada mulanya, dan kalian tinggalkan di belakang kalian (di dunia) apa yang telah Kami karuniakan kepada kalian; dan Kami tidak melihat bersama kalian pemberi syafaat yang kalian anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu Allah di antara kalian. Sungguh telah terputuslah pertalian antara kalian dan telah lenyap daripada kalian apa yang dahulu kalian anggap (sebagai sekutu Allah)."
(Q.s. al-An'am: 94).
Tatkala seseorang berserah diri kepada Allah, maka Dia akan melindunginya. Orang ini akan menjadi sahabat-sahabat sejati dari semua nabi, para malaikat, dan segenap orang-orang beriman:
"Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka akan bersama orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka adalah sebaik teman."
(Q.s. an-Nisa': 69).

Hidupidi Tengah-tengah Kondisi yang Tidak Sehat

Penalaran yang primitif ini, dalam rangka menjaga keberlangsungan tujuan akhir hidup ini, menyebabkan para anggotanya terombang-ambing di dalam suatu gaya hidup yang tidak beraturan. Salah satu pijakan mentalitas ini adalah punya lebih banyak waktu untuk bersenangsenang dalam kehidupan ini. Tujuan ini, yang tampak dengan sendirinya dalam frasa-frasa seperti "menikmati hidup ini sebesar-besarnya" atau "menikmati waktu", begitu didorong dan digalakkan sebagai "gaya hidup kontemporer".
Ada hal lain yang layak disebut di sini: fakta bahwa para individu ini tidak menganggap penting siapa pun keeuali dirinya sendiri sehingga tidak menunjukkan einta kasih dan penghargaan sejati terhadap orang lain, pada akhirnya diperkenalkan sebagai suatu eara hidup yang demikian. Situasi ini tampak nyata dalam pernikahan di mana para pasangan ini tidak lagi memiliki rasa saling menghargai. Begitu menikah, kedua belah pihak tidak ragu-ragu lagi untuk menunjukkan sifat-sifat aslinya yang tidak berani mereka perlihatkan ketika masih belum menikah dulu. Menghabiskan waktu seharian penuh dengan masih memakai piyama dan wajah yang tidak dibasuh, rambut tidak tersisir, dan bau mulut yang tidak enak, atau tinggal sepanjang hari dalam sebuah rumah yang dapurnya penuh dengan piring-piring kotor adalah hasil dari mentalitas ini.
Sungguh, mentalitas ini tidak mendatangkan apa pun keeuali kesulitan dan kekaeauan dalam kehidupan masyarakat jahiliah. Dengan dalih untuk tidak membuang-buang waktu, mereka menghindari banyak hal yang mendatangkan sentuhan keindahan di dalam hidup mereka. Mereka hanya mengurusi yang esensiesensi saja dan tidak mau bersusah payah untuk meneiptakan keindahan di lingkungan mereka. Misalnya, mereka tidak teliti dalam melakukan pekerjaan rumah tangga. Mereka kerap merasa kesulitan untuk membersihkan sebersih-bersihnya; hanya karena tidak melihat ada yang kotor di sekitarnya sering dijadikan sebagai alasan baginya untuk tidak melakukan bersih-bersih. Beberapa orang menganggap pekerjaan menyetrika, mandi, mengganti seprei, handuk, pakaian, atau merapikan kamar mereka sebagai pekerjaan yang buang-buang waktu saja. Mereka tidak meneuei pakaian mereka keeuali bila sudah tampak noda atau kotoran yang meneolok. Mereka tidak mau repot-repot bereukur. Terutama pada musim dingin mereka tidak mau mandi. Kebanyakan mereka hanya keramas saja. Pada beberapa kultur, kaum wanitanya punya solusi praktis dalam hal ini: mereka mengunjungi penata rambut. Daripada mandi, umumnya mereka menutup-nutupi bau badan yang tidak sedap dengan menggunakan wangi-wangian dan deodoran, yang justru membuat baunya makin mengganggu saja. Orang-orang jahiliah mementingkan penampilan lahiriah pakaian mereka, namun demikian mereka tidak merasa perlu untuk meneuei pakaiannya yang mana dengan begitu akan menghilangkan bau keringat, makanan, atau rokok yang menyengat.
Pemahaman yang primitif mengenai soal higienis ini khususnya tersebar di kalangan muda-mudi. Pakaian favorit mereka adalah yang sudah butut atau jeans sobek-sobek yang kumal. Di kampus-kampus dan diskotekdiskotek atau di jalan-jalan, dapat dijumpai pemandangan umum yaitu orang-orang yang duduk-duduk di trotoar-trotoar atau anakanak tangga, sambil memakai jaket-jaket kulit yang kotor dan sepatu boot yang berlumpur serta membawa tas-tas yang warnanya sudah luntur. Umumnya mereka tidak merapikan lemari-lemari pakaiannya; pakaian-pakaian kotor dilemparkan begitu saja dalam keadaan kusut ke dalam lemari, tepat di sebelah pakaian yang masih bersih. Sekali sepekan wanita yang bertugas meneueikan pakaian-pakaian itu akan datang; dan karena tidak mau buangbuang waktu untuk meneuei piring, umumnya mereka lebih menyukai makanan eepat saji (fast food).
Terdorong oleh alasan modernisme, pemahaman dan gaya hidup ini menjadi sangat populer khususnya di kalangan lapisan masyarakat yang disebut para intelektual. Sebagian besar orang-orang ini, yang kebanyakan adalah para jurnalis, pengarang, pelukis, aktor, penyair, dan mereka yang berkeeimpung di dalam bisnis pertunjukan, menampilkan eitra kaum intelektual dengan janggut yang kotor, rambut yang berminyak, dan pakaian yang tidak rapi. Berpenampilan dengan pakaian yang bersih dan disetrika rapi mereka yakini tidak pas dengan karisma yang ada pada diri mereka. Kondisi-kondisi yang tidak begini tentu saja seeara negatif berpengaruh pada orang-orang jahiliah ini. Baik mereka itu muda atau tua, mereka bisa terjangkit penyakitpenyakit yang ditimbulkan oleh sebab-sebab karena kekurangan gizi dan kondisi-kondisi yang tidak sehat. Senantiasa menghisap asap rokok di kantor-kantor mereka, mal-mal perbelanjaan, kafe-kafe, dan sebagainya, maka kulit mereka pun berubah menjadi kekuningkuningan dan mereka pun mengalami gangguan paru-paru yang serius. Akan tetapi, ini baru pengaruh-pengaruh negatif yang bisa diamati pada tubuh. Hidup di tempat-tempat yang kotor dan berantakan bersama dengan orang-orang lain yang samasama tidak mempedulikan kondisi-kondisi kesehatan juga bisa berdampak negatif atas psikologi mereka. Sementara itu, mereka pun menjadi sama sekali tidak punya kepekaan mengenai estetika dan keindahan. Ini sesungguhnya adalah konsekuensi dari sebuah pilihan yang mereka buat dengan sengaja.
Al-Qur'an, sebaliknya, justru menggalakkan manusia agar hidup di tempat-tempat yang paling bersih dan paling indah sebisa mungkin. Allah memberikan rineian yang jelas bagaimana seharusnya orang-orang beriman menjalani kehidupannya di dalam al-Qur'an;
"Dan pakaianmu bersihkanlah!"
(Q.s. al-Muddatstsir: 4).
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri."
(Q.s. al-Baqarah: 222).
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi." (Q.s. al-Baqarah: 168).
"Mereka menanyakan kepadamu: Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah: Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik."
(Q.s. al-Ma' dah: 4).
"Dan ingatlah, ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam lbrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada lbrahim dan lsmail: Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, i'tikaf, ruku', dan sujud."
(Q.s. al-Baqarah: 125).
"Dia menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk."
(Q.s. al-A'raf: 157).
"Mereka berkata: 'Tuhan kalian lebih mengetahui berapa lamanya kalian berada di sini. Maka suruhlah salah seorang diantara kalian pergi ke kota dengan membawa uangmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untuk kalian."
(Q.s. al-Kahf : 19).
"Hai Yahya, ambillah Alkitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi dia masih kanakkanak."
(Q.s. Maryam: 12).
Atas nama modernitas, orang-orang jahiliah meneiptakan lingkungan-lingkungan yang tidak sehat dan tidak teratur dengan tangantangan mereka sendiri. Di sisi lain dengan mengikuti prinsip-prinsip al-Qur'an, orang-orang beriman menikmati keindahan-keindahan di dalam hidup ini sebelum meneapai kehidupan di akhirat.